Review Film: Trigger Warning

INDUSTRY MOVIE – Trigger Warning merupakan fakta kalau Indonesia sebetulnya memiliki talenta selevel Hollywood dalam diri Mouly Surya. Film ini menampilkan keahlian Mouly menyulap cerita yang standar jadi tontonan mengesankan.

Aku pernah mengira Trigger Warning di tangan Mouly Surya hendak kental ekspresi artistik a la arthouse. Terlebih, dia sempat mengerjakan film tentang balas dendam seseorang wanita dalam Marlina sang Pembunuh dalam 4 Babak( 2017).

Ditaksir itu meleset sebab nyatanya Trigger Warning digarap dengan style yang kontras dari karya Mouly lebih dahulu. Film laga itu malah terasa sangat Hollywood, baik dari komposisi visual ataupun penyusunan cerita.

Nuansa itu mungkin besar timbul lantaran Mouly muncul di tengah orang- orang Hollywood, tercantum Basil Iwanyk yang jadi produser waralaba John Wick sampai 2 film Sicario.

Dia pula bekerja sama dengan aktris sekaliber Jessica Alba yang telah berkiprah di industri tersebut sepanjang 3 dekade lebih.

Di sisi lain, naskah garapan John Brancato, Josh Olson, serta Halley Gross itu pula lumayan generik walaupun digadang- gadang selaku tipe wanita dari First Blood serta John Wick.

Trigger Warning memanglah menawarkan kesegaran melalui misi balas dendam yang berpusat kepada seseorang wanita. Tetapi, premis itu dikemas dengan alur serta resep yang jamak ditemui dalam film laga yang lain.

Walaupun begitu, campuran Mouly Surya- Jessica Alba rasanya sukses menyelamatkan Trigger Warning jadi tontonan yang betah buat disaksikan.

Di sofa sutradara, Mouly bisa menampilkan kemampuannya menerjemahkan skenario jadi cerita yang hidup. Dia menguasai kalau Parker( Jessica Alba) ialah jantung cerita serta menjadikan kepribadian itu selaku poros utama dari dini sampai akhir film.

Pengambilan foto pada tiap adegan film tersebut pula tidak kalah menarik. Sutradara peraih 2 Piala Citra itu, bagi aku, sukses mencampurkan visi kreatifnya dengan komposisi visual yang familier untuk pemirsa global.

Dengan begitu, Trigger Warning bisa diramu dengan ramuan yang balance antara jadi estetis sekalian senantiasa gampang di cerna pemirsa awam.

Campuran yang cocok itu rasanya dapat terwujud berkat kerja sama Mouly Surya serta Zoe White selaku sinematografer. Mereka pula kembali meyakinkan kerja sama apik lewat bermacam adegan bertarung.

Faktor laga dalam beberapa adegan itu digarap dengan arahan kamera yang menarik. Mouly serta Zoe memakai bermacam style serta pendekatan sehingga momen laga itu nampak fresh dan senantiasa intens.

Tidak hanya itu, Parker diceritakan gemar mengenakan senjata berbilah, sehingga terdapat banyak tipe senjata yang digunakan, dari belati, pisau, apalagi sampai parang asli Indonesia.

Latar balik itu jadi modal untuk Mouly Surya buat meningkatkan adegan- adegan laga tersebut jadi lebih bermacam- macam.

Tetapi, Trigger Warning kekurangan satu faktor berarti dalam suatu film laga. Film ini tidak memiliki kepribadian villain yang sanggup membagikan ancaman besar untuk kepribadian utama.

Wujud villain dalam kepribadian Elvis Swann( Jake Weary) serta keluarganya tidak dapat memperkenalkan ancaman yang berarti. Mereka cuma semacam komplotan kelas teri yang bisa dengan gampang ditumpas prajurit elite sekelas Parker.

Di samping urusan visual serta adegan laga, Trigger Warning terasa solid berkat aksi Jessica Alba. Dia mengemban bermacam tugas dalam film ini, mulai dari tulang punggung cerita sampai magnet utama yang menggaet pemirsa.

Tuntutan itu juga sukses dipadati Jessica Alba selama menunjukkan kepribadian Parker. Pengalaman Alba selaku aktris memanglah tidak butuh diragukan sebab aktingnya selama cerita begitu solid serta tidak berubah- ubah.

Latar balik Parker selaku tentara elite ditunjukkan melalui kepribadiannya yang penuh tekad serta tidak tahu ampun dikala menunaikan suatu misi.

Alba pula menerjemahkan dendam Parker yang baru kehabisan bapaknya dengan meyakinkan. Dia tidak mencurahkan dendam serta duka itu secara ekspresif, namun melalui bermacam tindakannya yang mengecam nyawa.

Dengan seluruh baik buruknya, Trigger Warning merupakan dini menjanjikan untuk Mouly Surya yang kesimpulannya debut film panjang berbahasa Inggris di Hollywood.

Dengan modal reputasi mentereng di bermacam festival film internasional, Mouly sukses menapakkan kakinya di kancah global dengan mantap.

Aku pula sangat berharap Trigger Warning tidak cuma membuka jalur Mouly Surya di Hollywood, namun pula memantik sineas lokal lain buat dapat terus menjadi lantang berdialog di dunia.

Review Film : Inside Out 2

INDUSTRY MOVIE – 9 tahun lalu, Inside Out 2 masih sanggup membuat pemirsa– setidaknya saya– buat tersambung dengan ekspedisi Riley Andersen serta bermacam emosi yang dia natural selaku seseorang anak muda yang lagi berkembang tumbuh.

Walaupun aku tidak dapat lagi dibilang anak muda, gejolak emosi serta psikologis yang dirasakan Riley semasa pubertas menegaskan aku betapa lingkungan perasaan pada dikala itu.

Rasa takut, risau, overthinking, serta terkadang iri yang dirasakan tiap dari mereka yang sempat lewat fase pubertas serta anak muda terwujud dalam beberapa kepribadian emosi baru dalam sekuel ini.

Merupakan Anxiety, Envy, Ennui, serta Embarrassment ditampilkan sangat apik dikala kelompok emosi baru itu berupaya menjajah Riley semacam pendahulunya, Joy, Sadness, Anger, Fear, serta Disgust.

Permasalahan yang ditampilkan oleh Kelsey Mann serta Meg LeFauve sebagai perancang cerita serta naskah yang ditulis oleh LeFauve bersama Dave Holstein ini pula terbilang simpel, tetapi sempat dirasakan tiap orang: gejolak emosi dikala mengenali orang dekat hendak berangkat.

Dalam Inside Out 2, Riley merasa risau dikala mengenali kedua teman- temannya hendak pindah sekolah. Dari situ, bermacam polemik terpaut emosinya bermunculan, tercantum bermacam emosi yang lebih dahulu tidak terdapat semasa dia masih kanak- kanak dalam Inside Out( 2015).

Selaku sutradara, Kelsey Mann sukses mengeksekusi dengan baik kasus ringan dalam alur cerita jadi suasana menegangkan sekalian seru. Paling utama dikala geng emosi lama berjuang mengembalikan jati diri Riley yang dijajah geng emosi baru.

LeFauve bersama Holstein sukses menggodok alur cerita serta diskusi yang betul- betul menghidupkan suasana Riley sepanjang 96 menit film berjalan. Perihal yang sangat aku gemari merupakan gimana Riley ditafsirkan dengan ketidaksempurnaannya, mulai dari keadaan raga sampai psikologis.

Perwujudan kepribadian itu dengan tegas mengantarkan pesan kalau manusia memanglah makhluk yang tidak sempurna. Tetapi manusia senantiasa berharga dengan seluruh penampilan serta pengolahan kepribadian yang dimilikinya, sebab memanglah sejatinya manusia diliputi oleh emosi- emosi tersebut.

Tidak hanya itu, aku mencatat Inside Out 2 tidak cuma berikan jatah buat kepribadian utama tampak dengan ciamik, namun pula mencermati karakter- karakter pendukung. Diskusi serta visualisasi kepribadian pendukung sangat dicermati sampai sanggup menghibur serta mengundang gelak tawa.

Sebut saja kepribadian baru yang lain, Nostalgia, yang sebagian kali timbul menegaskan hal- hal yang sudah dilalui Riley. Interaksi antara Nostalgia yang timbul cuma sebagian kali itu jadi perihal menarik yang aku nantikan di saga selanjutnya dari film ini.

Inside Out 2 pula masih melindungi aspek visual yang memanglah nampak tidak terbuat sembarangan. Visual itu memuaskan ekspektasi serta membagikan sentuhan baru tanpa meninggalkan keramahan yang telah diketahui lebih dahulu berkat film awal.

Walaupun begitu, scoring dalam film ini sesungguhnya terkesan masih sama semacam lebih dahulu baik dari sajian serta komposisi. Tetapi aspek scoring yang tidak terdapat pergantian itu tidak sanggup menggoyahkan atensi dari alur cerita yang sesungguhnya sungguh- sungguh tetapi dikemas dengan seru nan jenaka.

Catatan aku dari Inside Out 2 cumalah dominasi kepribadian Anxiety dalam cerita, sama semacam Joy pada film lebih dahulu. Aku mengharapkan 3 emosi yang lain semacam Envy, Ennui, serta Embarrassment memiliki kedudukan yang signifikan dalam kepribadian Riley sehingga tidak gampang buat terlupakan sebab dominasi Anxiety.

Kedudukan ketiga emosi itu juga nampak tidak sangat sepadan apabila dibanding dengan Sadness, Anger, Fear, serta Disgust. Sementara itu, mereka memiliki banyak celah dalam turut campur mengatur emosi Riley terlepas dari kedudukan utama yang diemban Anxiety.

Pada kesimpulannya, film yang kembali muncul sehabis nyaris satu dekade ini sanggup menanggapi persoalan melalui sajian serta alur cerita yang lebih fresh dari lebih dahulu.

Tidak hanya itu, Inside Out 2 pula jadi dini menjanjikan untuk keberlanjutan cerita Riley dengan macam emosi baru yang hendak berkembang bersamaan masa pertumbuhannya. Tidak cuma menggaet kanak- kanak melalui sajian penuh warna, film ini pula relevan dengan anak muda serta berusia melalui permasalahan yang dinarasikan.

Sweet Home 3 Tayang 19 Juli, Jadi Akhir Cerita Monsterisasi

INDUSTRY MOVIE – Serial Sweet Home season 3 formal hendak tayang 19 Juli. Berita itu diumumkan Netflix sebagai studio serta layanan streaming yang menayangkan serial Korea tersebut. Mereka pula mengumumkan season 3 hendak jadi akhir Sweet Home.

Serial yang mengisahkan monsterisasi serta babak baru umat manusia itu telah diawali semenjak 2020 yang lanjut ke masa kedua pada 2023 serta bakal berakhir dengan season 3 pada tahun ini.

” Akhir dari seluruh evolusi. Dunia yang sudah menggapai akhir dari monsterisasi serta dini dari kemanusiaan baru,” tulis Netflix Korea via X pada Rabu( 12/ 6).

” Perjuangan terakhir dari mereka yang terjebak dalam batasan ambigu antara monster serta manusia. Sweet Home season 3, 19 Juli cuma di Netflix,” lanjut pengumuman itu.

Dalam cuitan itu, Netflix mengunggah poster Sweet Home 3 yang menunjukkan potret terkini Song Kang selaku Cha Hyun- su. Dia nampak terletak di tengah kota yang sirna.

Keadaan dalam diri Cha Hyun- su pula nampak penuh teka- teki sebab sayap monsternya yang melebar. Di bagian poster itu, nampak kepompong misterius yang memiliki calon monster.

Berita perilisan Sweet Home season 3 menanggapi penantian pemirsa yang menunggu kepastian. Karena, serial itu sudah dikonfirmasi bakal tayang pada paruh awal tahun ini.

Netflix lebih dahulu pula merilis gambar terkini buat masa ketiga. Gambar itu menunjukkan Lee Do- hyun yang kembali bergabung selaku Lee Eun- hyeok, usai pernah dikira wafat dunia pada masa kedua.

Dia setelah itu bergabung dengan Lee Eun- yu( Go Min- si) serta Cha Hyun- su( Song Kang). Mereka juga bersiap jadi trio pemeran utama yang hendak menemukan kedudukan berarti dalam cerita season 3.

Sweet Home season 3 hendak jadi akhir dari ekspedisi serial hit tersebut. Dalam masa ketiga, batasan antara monster serta manusia jadi terus menjadi kabur sebab keadaan sosial yang terus berganti.

Umat manusia pula berhadapan dengan masa baru sebab banyak manusia baru yang sudah berganti sehabis hadapi monsterisasi. Ekspedisi itu hendak jadi klimaks dari seluruh cerita yang sudah lalu semenjak masa awal.

Masa ketiga Sweet Home hendak menunjukkan nama- nama hit yang bergabung semenjak season 1 serta 2. Tidak hanya trio pemeran utama, serial itu pula kembali menunjukkan Lee Si- young, Kim Sia, Lee Jin- wook, Oh Jung- se, Jinyoung, Yoo Oh- seong, sampai Kim Moo- yeol.

Godzilla Minus One

INDUSTRY MOVIE – Godzilla Minus One menggambarkan 2 tahun sehabis kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II tahun 1945. Panorama alam yang warga amati saat ini cumalah kehancuran. Tercantum, seseorang mantan pilot kamikaze bernama Koichi Shikishima( Ryunosuke Kamiki) yang kabur dari misi bunuh dirinya ke Pulau Odo.

Shikishima jadi salah satu yang selamat kala Godzilla melanda Pulau Odo. Tetapi, ia mesti melanjutkan hidup dengan penyesalan besar di pundaknya sebab jadi orang yang pengecut.

Setelah itu, Shikishima dipertemukan dengan seseorang wanita yatim piatu bernama Noriko Oishi( Minami Hamabe) serta Akiko( Sae Nagatani), balita wanita yang dilindungi oleh Noriko. Ketiganya tinggal bersama serta membangun kembali kehidupan mereka.

Demi menafkahi” keluarga” barunya, Shikishima bekerja selaku awak kapal Shinsei Maru yang tugasnya mensterilkan ranjau laut sisa perang. Tidak cuma pekerjaan, dia pula menemukan sahabat baru.

Sesuatu hari, Godzilla terbangun serta bermutasi jadi lebih beresiko sehabis terpapar radiasi dari uji uji senjata nuklir kepunyaan Amerika Serikat. Kaiju itu juga menargetkan Jepang selaku sasaran barunya, tepatnya ke arah Ginza.

Perihal tersebut membuat militer Jepang menyusun strategi buat mengalahkan Godzilla, tercantum Shikishima yang berniat buat membayar kesalahannya di masa kemudian.

Menyaksikan Godzilla Minus One membangunkan kembali rasa semangat aku dalam menyaksikan film kaiju. Paling utama, sehabis Godzilla di- Hollywood- kan melalui waralaba MonsterVerse.

Godzilla Minus One mempunyai satu perihal yang tidak dipunyai oleh semesta monster itu, ialah keaslian cerita gimana Godzilla ialah representasi dari betapa seram serta berbahayanya senjata nuklir terhadap manusia yang jadi korbannya.

Esensi dari rasa trauma itu ditangkap dengan baik oleh Takashi Yamazaki yang menahkodai proyek film Godzilla Minus One. Dia ialah penulis skenario, sutradara, apalagi pengawas regu dampak visual( VFX) film tersebut.

Bila terdapat yang pantas diberi 2 acungan jempol buat Godzilla Minus One, Yamazaki merupakan orangnya. Ia sukses membuat film yang dieksekusi dengan baik dari dini sampai akhir.

Tidak cuma menyuguhkan cerita tragis manusia yang dikombinasikan dengan kedatangan monster yang seram, Yamazaki pula pantas menemukan pujian serta penghargaan paling tinggi di lini VFX.

Ini teruji kala Godzilla Minus One diganjar penghargaan dari Academy Awards selaku Best Visual Effects. Yamazaki beserta timnya sukses bawa kembali Piala Oscar ke Jepang.

Yamazaki memperoleh keuntungan tertentu lantaran ia sempat bekerja selaku pakar VFX saat sebelum memasuki ke arah penyusunan serta penyutradaraan. Sehingga, ia mengawasi secara dekat serta dengan cermat tentang apa yang ia ingin terpaut VFX Godzilla Minus One.

Kenyataan yang menarik dari Godzilla Minus One merupakan bujet yang relatif sangat kecil bila dibanding dengan penciptaan film- film Hollywood.

Film Jepang ini dibuat dengan anggaran dekat US$15 juta. Angka ini kecil dalam kurs dolar, tetapi sebetulnya bila dikonversi, film ini memakan bujet sebesar 2, 3 miliyar yen.

Dengan angka sekecil itu– lewat kacamata Hollywood– nyatanya Godzilla Minus One meyakinkan kalau tidak butuh merogoh kantong dalam- dalam buat memproduksi film yang bagus. Terlebih, bila film itu didominasi computer generated imagery( CGI) serta VFX.

Perihal tersebut dapat terwujud apabila si filmmaker dapat ketahui metode mengendalikan uangnya serta menggunakan sumber energi yang mereka memiliki secara optimal. Seperti itu yang Yamazaki jalani dikala menggarap Godzilla Minus One.

Walaupun demikian, terdapat satu perihal yang kurang dari Godzilla Minus One. Bukan kesalahan filmnya, melainkan aspek eksternal lain. Film ini tidak tayang di bioskop Indonesia yang diyakini sebab bertabrakan dengan Godzilla x Kong: The New Empire yang tayang bersebelahan.

Ini pasti mempengaruhi pada metode pemirsa memperoleh pengalaman sinematik dari Godzilla Minus One. Aku kurang memperoleh kemewahan serta kemegahan adegan kala Godzilla timbul serta meratakan seluruh yang ia temui, serta pula scoring musik dan raungan Godzilla yang menggelegar.